Monday, April 16, 2007

Rasisme adalah Musuh Kita Bersama!!!

Tak ada tempatuntuk rasisme. Rasisme menjadi musuh bersama dalam sepak bola nasional. Jika sebelumnya kampanye yang diusung adalah slogan dan propaganda no anarki, no tawuran, no main mata, ada dua kata yang saat ini sedang mengema dengan keras dan wajib untuk digembar- gemborkan: anti rasisme.

Memerangi terhadap pelaku rasis wajib di seluruh tempat digelarnya pertandingan Liga Indonesia. Pelaku rasis merupakan pelanggaran HAM yang bisa memicu anarkisme dan harus diperlakukan seperti mereka yang melakukan perusakan, membuat onar saat pertandingan, bahkan kalau perlu lebih. Tak ada ruang untuk pelaku rasis dan diskriminasi di dalam olahraga nasional yang kita cintai.

Dunia siap menyatakan perang terhadap rasisme dan diskriminasi,” cetus Presiden FIFA Sepp Blatter, dalam sebuah kesempatan. Sayang, pernyataan Blatter ternyata tidak sampai di telinga para pelaku sepak bola negeri ini. PSSI, dalam hal ini komisi disiplin dan Badan Liga Indonesia, ternyata tak memberi perhatian khusus pada rasisme.
Perangkat pertandingan yang berada digaris depan seperti Pengawas Pertandingan, Wasit yang difungsikan sebagai mata, telinga, dan pelaksana di lapangan ternyata belum menganggap rasisme sebagai sebuah pelanggaran. Ironis memang, karena seharusnya mereka sangat tahu bahwa dunia sepak bola internasional sekarang ini tengah dan terus akan mengatakan perang terhadap rasisme.

Berdasarkan peraturan FIFA yang diluncurkan bulan lalu untuk meredam rasisme, bahwa klub akan mendapat pengurangan tiga angka untuk serangan rasis pertama, enam angka untuk serangan kedua dan bisa juga pertandingan akan dipindahkan ke tempat lain jika seangan rasis itu terus berulang. Namun sayang penegakan paraturan di tubuh PSSI melalui rentetan sanksi-sanksi lewat Komisi Disiplin, baik kepada klub maupun supporter belum tepat sasaran dan melahirkan efek jera. Ini yang mesti dikritisi. Soalnya sanksi yang tidak tepat sasaran berpotensi melahirkan kasus baru. Butuh satu keberanian untuk bersikap keras dan tidak populer, itu pun masih di bawah ancaman pengebirian berupa revisi atau remisi lewat hak prerogatif yang diobral bos PSSI.

Yang tak bisa dilupakan adalah peran dan andil klub untuk memerangi rasisme dengan mendidik pemain dan suporternya. Klub bisa memakai jasa praktisi atau ahli dalam memperkaya wawasan pemain dan suporter, baik dalam sisi regulasi, organisasi, bahkan bisnis. Jika lancar, niscaya kelak klub tak lagi merasakan kehadiran pemain sebagai provokator atau kelompok suporter sebagai pressure group. Khusus buat suporter, sungguh sayang jika citra suporter kreatif di Indonesia justru beriringan dengan citra kelam sebagai supporter perusuh yang Ndeso, Katrok, Kampungan…

Apa pun bentuk teror penonton, asalkan tidak mengandung muatan rasisme,mungkin masih bisa diterima.Tapi, tetap saja dalam batas kewajaran. Saya tidak setuju manakala suporter mengusung isu rasisme untuk menjatuhkan mental lawan. Bagaimanapun, semuanya adalah sama. Bagaimana Slemania dan Brajamusti ? Sudah siap untuk melawan Rasisme ?!

Di kuti dari www.slemania.co.id

[ by : sarie ]

No comments: